Angkara
—
"Mau pulang?" Suaranya masih terdengar asing.
Arya menggeleng sebagai jawaban. Sedikit memaksa agar senyum terpatri di bibirnya. Untuk gadis paling sempurna, Arya terlalu pengecut.
Asing. Kata yang tiap hari berdengung di telinga, memenuhi otak berdebu miliknya. Orang-orang tidak bercanda saat mengatakan Arya itu bodoh.
Arya dan segudang hal rumit, sudah biasa. Arya memang bukan manusia sempurna, tetapi kebodohannya terlalu paripurna. Seolah bisa berpikir, pikirnya membawa bahagia, hatinya akan suka. Bohong. Di akhir, yang Arya bawa hanya lara. Kepalanya yang keras itu lupa bahwa masih ada duka.
"Maaf, saya belum bisa jadi rumah. Kita sudahi, ya?" Padahal, jiwanya yang menyerah.
Teruntuk gadis paling sempurna, maaf. Arya meminta maaf karena torehkan luka. Pukul saja dia, pukul tepat di ubun-ubun. Jangan lupa tendang perutnya.
"Saya antar pulang, ayo siap-siap."
Sudah dikatakan, Arya terlalu brengsek bila menyangkut rasa insan lainnya.