Bumantara
Didedikasikan untuk Angkasa.
—
"Menurutmu, bagaimana kematian?"
Sang lawan bicara terkekeh pelan, heran dengan sikap temannya. Senyumnya mengembang, ia menjawab, "Abadi."
"Bukankah ada kehidupan setelah kematian? Reinkarnasi?" Alis temannya bertaut, pertanda tidak setuju.
"Entahlah. Aku belum pernah mati."
Helaan napas panjang terdengar. Memang sulit untuk mengajak Sekar bicara secara serius. "Kau tidak takut mati?"
Harus Sekar akui bahwa temannya yang satu ini sedikit aneh. Tiba-tiba bertanya tanpa alasan yang jelas, datang padanya hanya untuk mengucapkan salam, memaksanya melukis sesuatu, menyuruhnya menulis dengan bolpoin hijau agar tulisannya terlihat asri.
"Tidak. Bahkan, aku ingin," tutur Sekar dengan yakin.
Temannya bergidik ngeri. Bagi sebagian orang, Sekar itu periang, terkadang dilihat sebagai orang yang membawa kedamaian. Namun, bagi temannya yang satu ini, Sekar merupakan sosok yang jauh lebih dalam, lebih kelam.
"Kenapa ingin mati? Mau mengejar surgawi?"
"Karena aku masih bersifat duniawi, tetapi tenang saja, aku tidak akan mati dalam waktu cepat. Ada banyak hal yang harus diselesaikan."
Suara tawa temannya menggema, memenuhi seisi ruangan. "Mati tidak enak, lagi pula hal yang kau urus banyak, yang mana maksudmu?"
"Semuanya."
"Masih termasuk menjadi penghadir tawa?"
"Iya," jawabnya lirih sembari tersenyum miris.
Mereka terdiam beberapa saat hingga sang teman memecah keheningan.
"Sekar, jangan mati."
Kalimat penutup sebelum ia menghilang ditelan bayangan malam. Teman Sekar telah pergi ke angkasa seminggu yang lalu, sering datang bila dirasa ingin bertandang. Hal itu cukup untuk membuat Sekar murung. Namun, Sekar rasa dirinya kurang beruntung karena bukan dia yang bisa bebas berkunjung.