Kami

Salah satu bagian dari yang satu ini.


Jangan tanya, jangan sentuh rahasianya. Salah seorang makhluk Tuhan sedang meringkuk di pojok ruangan, berusaha keras membuat netranya terpejam. Orang itu menutup kedua telinga, menekan benda itu kuat-kuat.

Takut. Entah apa, dirinya terancam. Manusia bodoh, manusia gila, manusia pembawa sial. Ini salahnya sendiri, ini karma, ini buah perbuatannya.

Salah, ini bukan salahnya. Sosok itu berteriak dalam diam, memaki-maki, melontarkan sumpah serapah. Dia tidak sepenuhnya salah. Orang-orang abai, enggan mendengarkan. Dimana letak percaya? Dia bingung. Salahnya? Semua? Bahkan saat sudah menjadi korban? Dia putus asa.

Omong kosong. Sudah pernah dijelaskan bahwa dunia ini penuh tipu daya.

"Kamu kenapa?" Nadanya khawatir.

"Sakit. Harusnya kamu tidak perlu bertanya."

"Yang mana? Bagaimana bisa? Mau ke dokter?"

Helaan napas panjang keluar. Muak. "Jangan pura-pura, menjijikan."

Seringai muncul, diikuti tawa terbahak. "Sudahlah. Lihat? Di akhir, saya menang. Di akhir, kamu sendirian."

"Wow, selamat? Saya sudah terbiasa, tidak perlu kamu jelaskan."

"Bohong. Lalu untuk apa air mata itu, hah?"

Suara kekehan muncul, sedikit lirih. "Untuk menangisi kebodohanmu. Dengar, saya tidak takut mati."

"Nyawamu tidak perlu tiada, yang penting sengsara. Sisanya? Lukamu akan bertambah dengan sendirinya. Silakan berjuang, sayang."

"Sialan, brengsek."

"Saya adalah kamu, itu sudah menjawab mengapa saya bisa brengsek." Monolog itu ditutup dengan sebuah fakta.

Postingan populer dari blog ini

Anca

Bumantara

Angkara