Noah dan Nora



Ini cerita sederhana. Tentang sayap yang patah, tentang batu yang terkikis, dan tentang kaca yang retak.

Noah suka melukis. Nora paham itu lebih dari siapapun, bahkan lebih dari Noah sendiri. Noah benci hujan. Nora pun hafal.

Noah berharga, lebih dari apapun. Nora tanam dalam-dalam di hatinya. Sayangnya, Nora sudah jatuh, jauh sebelum mengenal objek favoritnya.

"Noah."

"Kau juga berhasil kabur lagi hari ini, ya, Nora?"

Si gadis mengangguk sebagai jawaban, kemudian tersadar bahwa pandangan Noah sama sekali tidak berpaling ke arahnya. "Iya," lanjutnya.

Di atas sana, langit terlihat berseri. Sang surya berpendar cerah, tidak terlalu panas, suasananya teduh.

"Hari ini, tentang apa?"

Bukit itu terlihat asri. Bukan hanya hijau, warna bunga lainnya menghias bak mahkota. Tempat pertama kali mereka bertemu, membagi cerita, dan mencipta tawa. Baik Noah atau Nora mengerti bahwa tempat sebagus ini harus dirahasiakan dari para manusia tamak.

"Noah?" panggilnya sekali lagi. Nora tidak begitu heran dengan perangai Noah yang sering mengabaikan pertanyaannya. Noah dengan ketidakpeduliannya dan Nora dengan rasa ingin tahunya.

Beberapa menit berlalu, Nora setia menunggu jawaban dari pemuda di hadapannya sembari memandangi tiap jengkal gerakan yang dilakukan. Noah sangat indah, sekali lagi Nora terpaku kagum.

"Lukisan ini untukmu, tunggulah sebentar." Suara itu keluar dari bibir ranum Noah. Aneh, tumben sekali Noah melukis untuk Nora. Biasanya, tiap karya yang hadir di bukit ini akan berakhir dalam galeri khusus di rumah Noah.

Sang pelukis merapikan peralatannya, memastikan tidak ada satu alat pun yang tertinggal. Setelahnya, lukisan baru yang telah selesai itu pun dipamerkan di depan mata Nora. "Bagus?"

Nora tersenyum lembut sebelum berkata, "Luar biasa, selalu indah."

"Besok, tidak akan ada lagi kata 'kita' di bukit penuh warna. Lukisan terakhirku itu tolong dijaga, ya."

Seketika hening. Nora dengan pikirannya yang berkecamuk dan Noah yang mengucap pamit lalu melenggang pergi. Gadis itu paham bahwa suatu saat mereka akan berpisah, tetapi tidak pernah mengharap sekarang waktunya, semua berjalan terlalu cepat. Ah, miris sekali bila dilihat. Noah dengan gelar bangsawannya dan Nora dengan lumpur di bajunya.

Postingan populer dari blog ini

Anca

Bumantara

Angkara