Kusat-mesat


Pernah merasa seperti terjebak di satu ubin? Kau tidak bisa terbang, tetapi bisa berjalan melewati ubin lainnya yang penuh dengan duri di sebelah kanan dan beling di sebelah kiri. Kau bisa melangkah maju dengan harapan tidak ada ubin jebakan yang akan membuatmu jatuh ke jurang terdalam bila menginjaknya. Namun, jika kau berpikir untuk mundur, kau harus siap kehilangan jati dirimu. Lucu, ya? Pada akhirnya kau hanya berdiam di tempat tanpa bisa memilih.

Saat segalanya terbentang di hadapanmu, kau akan melihat si kaya, si hebat, si jenius, dan si paling beruntung. Di sisi lain akan ada si miskin, si pecundang, si bodoh, dan kau sebagai pemilik seluruh kesialan di dunia. Meski jenius, ia akan iri pada si kaya. Meski, beruntung, ia akan iri pada sebuah kejeniusan. Kemudian, bagaimana perasaan pihak yang penuh lumpur? Menyedihkan, bukan?

Ada yang bersyukur telah memiliki sebuah perusahaan, ada pula yang bersyukur karena sanggup menyediakan porsi makan sehari bagi keluarganya. Seorang murid bersyukur karena berhasil menjadi juara, murid lainnya bersyukur ia masih bisa bersekolah.

Aku bersyukur karena diberi kesempatan untuk tetap hidup.

Pola pikir seperti itu tertanam jauh di dalam kepalaku, menyelamatkan diri ini dari keputusasaan tak berujung. Hasilnya, aku masih bertahan meski tanpa tujuan, ambisi, ataupun hasrat. Harapan masih membara, aku menganggapnya masih ada.

Sudut pandang dunia menuntut adanya keseimbangan, layaknya hukum kebajikan dan kefasikan. Sayangnya, aku hampir ditelan kegelapan yang berhasil dihalau oleh rasa takut. Aku, si kecil penuh imajinasi, tidak bisa lagi bermimpi ataupun membuat usaha lama terbukti. Aku, si berpunuk unta, hanya memiliki nyawa yang tersisa tanpa rasa-rasa berharga.

Postingan populer dari blog ini

Anca

Bumantara

Angkara